Cinta, itulah kata pertama yang akan terucap bila kita ditanya oleh orang lain kenapa kita mau menikahi pasangan kita. Sederhana tetapi kalau di pahami mempunyai makna yang sangat dalam. Siapa sih yang tidak ingin menikah dengan orang yang dicintai?
Dapat dikatakan cinta merupakan pondasi awal sebuah rumah tangga akan dibangun. Puluhan tahun yang lalu, yang terjadi dengan para orang tua kita mungkin sedikit berbeda. Pada masa itu, banyak dari mereka yang membangun sebuah rumah tangga bukan karena cinta pada awalnya, tetapi lebih mengarah pada ikatan perjodohan yang sudah disepakati oleh pera orang tua mereka. Cinta yang ada tumbuh setelah mereka menikah dan berumah tangga.
Pada masa sekarang jika ada cerita pernikahan karena hasil perjodohan pasti kita akan mengaitkan dengan sebutan kolot. Sekarang hampir tidak ada istilah menikah karena hasil sebuah perjodohan dari orang tua kita. Budaya sekarang mungkin sudah berbeda dengan budaya pada masa orang tua kita. Sekarang kita bisa memilih pasangan hidup kita sesuai dengan pilihan hati kita masing-masing. Peran orang tua dalam hal ini sifatnya hanya merestui apa yang sudah menjadi harapan anaknya. Bahkan sekalipun ada orang tua yang tidak menyetujui hubungan anaknya dengan pilihan hatinya, si anak tetap akan berkeras dan mencoba untuk membuktikan pada orang tuanya bahwa pilihan hatinya tidak salah. Dengan mantap si anak akan meyakini bahwa pilihannya tersebut yang bisa membahagiakan hidupnya.
Cinta merupakan pengikat yang kuat antara dua manusia yang berkepribadian berbeda. Dengan cinta, dua hati akan menebar harapan tentang hidup bahagia bersama. Sekalipun rintangan di depannya tidaklah mudah, tapi dengan cinta, pasangan yang akan membangun bahtera rumah tangga punya keyakinan bahwa perbedaan yang ada bisa disatukan. Dengan cinta kita semakin yakin bahwa setiap persoalan nantinya akan terselesaikan. Bukankah begitu? Itulah modal pertama untuk membangun sebuah keluarga baru. Keyakinan tentang cinta begitu besarnya, bahkan terkadang rasio bisa kita lupakan. Harapannya tentunya dapat hidup bahagia dikemudian hari.
Namun demikian, perjalanan hidup berumah tangga tidaklah semudah membalikkan telapak tangan kita. Akan ada banyak hal yang selalu menguji cinta kita terhadap pasangan kita. Mimpi yang kita bangun akan sia-sia jika kita gagal dalam ujian ini. Seiring berjalannya waktu, saat itu pula setiap masalah akan menggerogoti benih-benih cinta. Ini ujian nyata bagi cinta kita, karena situasi sebelum menikah dan sesudah menikah sangat berbeda. Setelah menikah, kita setiap detik dan menit akan melihat pasangan kita, bahkan sifat-sifat yang dulu tertutupi waktu pacaran akan terlihat dengan jelas. Jangan terkejut jika pasangan kita ternyata juga menutupi sesuatu dari kita. Untuk itu, penting bagi setiap pasangan untuk saling mengerti, memahami dan saling terbuka semasa pacaran. Ini akan menumbuhkan rasa saling percaya yang besar terhadap pasangannya.
Masa-masa awal berumah tangga adalah masa-masa yang penuh dengan berbagai kesulitan kalau dari masing-masing pribadi tidak menyadari bahwa kita sudah bukan lagi dua melainkan satu atau lebih tepat satu hati, walupun kita tetap menjadi dua pribadi yang berbeda. Maka tidak jarang kita mendengar ataupun melihat, pasangan yang baru menikah belum lama sudah terlibat dalam pertengkaran rumah tangga. Jika ini terus berlanjut maka mimpi tentang hidup bahagia bersama sang pujaanpun akan sirna. Yang terucappun sudah akan berbeda dengan waktu kita akan menikah. Berbagai alasan karena ketidakcocokan akan dengan mudah terungkap. Di sini bukan lagi cinta dua hati yang berbicara, tetapi lebih pada ego kita masing-masing yang dominan. Kalau sudah begini, kemana cinta yang dulu begitu kuat itu pergi? Tidakkah masih ada cinta diantara mereka? Mengapa keyakinan untuk hidup bahagia dengan pasangan yang telah kita pilih sendiri juga ikut sirna? Bukankah dulu sebelum menikah kita punya keyakinan yang kuat bahwa kita bisa hidup bahagia dengan pacar kita. Padahal kita menikahi pasangan kita juga karena kita mencintainya.
Mungkin ini yang harus kita renungkan bersama apa itu cinta? Mengapa kita mencintai pasangan kita? Apa yang dapat saya lakukan untuk pasangan kita sebagai bukti kalau kita benar-benar mencintainya?
Pada masa sekarang jika ada cerita pernikahan karena hasil perjodohan pasti kita akan mengaitkan dengan sebutan kolot. Sekarang hampir tidak ada istilah menikah karena hasil sebuah perjodohan dari orang tua kita.
Cinta merupakan pengikat yang kuat antara dua manusia yang berkepribadian berbeda. Dengan cinta, dua hati akan menebar harapan tentang hidup bahagia bersama. Sekalipun rintangan di depannya tidaklah mudah, tapi dengan cinta, pasangan yang akan membangun bahtera rumah tangga punya keyakinan bahwa perbedaan yang ada bisa disatukan. Dengan cinta kita semakin yakin bahwa setiap persoalan nantinya akan terselesaikan. Bukankah begitu?
Namun demikian, perjalanan hidup berumah tangga tidaklah semudah membalikkan telapak tangan kita. Akan ada banyak hal yang selalu menguji cinta kita terhadap pasangan kita. Mimpi yang kita bangun akan sia-sia jika kita gagal dalam ujian ini. Seiring berjalannya waktu, saat itu pula setiap masalah akan menggerogoti benih-benih cinta. Ini ujian nyata bagi cinta kita, karena situasi sebelum menikah dan sesudah menikah sangat berbeda. Setelah menikah, kita setiap detik dan menit akan melihat pasangan kita, bahkan sifat-sifat yang dulu tertutupi waktu pacaran akan terlihat dengan jelas. Jangan terkejut jika pasangan kita ternyata juga menutupi sesuatu dari kita. Untuk itu, penting bagi setiap pasangan untuk saling mengerti, memahami dan saling terbuka semasa pacaran. Ini akan menumbuhkan rasa saling percaya yang besar terhadap pasangannya.
Masa-masa awal berumah tangga adalah masa-masa yang penuh dengan berbagai kesulitan kalau dari masing-masing pribadi tidak menyadari bahwa kita sudah bukan lagi dua melainkan satu atau lebih tepat satu hati, walupun kita tetap menjadi dua pribadi yang berbeda. Maka tidak jarang kita mendengar ataupun melihat, pasangan yang baru menikah belum lama sudah terlibat dalam pertengkaran rumah tangga. Jika ini terus berlanjut maka mimpi tentang hidup bahagia bersama sang pujaanpun akan sirna. Yang terucappun sudah akan berbeda dengan waktu kita akan menikah. Berbagai alasan karena ketidakcocokan akan dengan mudah terungkap. Di sini bukan lagi cinta dua hati yang berbicara, tetapi lebih pada ego kita masing-masing yang dominan. Kalau sudah begini, kemana cinta yang dulu begitu kuat itu pergi? Tidakkah masih ada cinta diantara mereka? Mengapa keyakinan untuk hidup bahagia dengan pasangan yang telah kita pilih sendiri juga ikut sirna? Bukankah dulu sebelum menikah kita punya keyakinan yang kuat bahwa kita bisa hidup bahagia dengan pacar kita. Padahal kita menikahi pasangan kita juga karena kita mencintainya.
Mungkin ini yang harus kita renungkan bersama apa itu cinta? Mengapa kita mencintai pasangan kita? Apa yang dapat saya lakukan untuk pasangan kita sebagai bukti kalau kita benar-benar mencintainya?
Cinta merupakan ungkapan perasaan dan perbuatan kita kepada orang lain karena kita mempunyai perhatian yang istimewa kepada orang tersebut. Menurut Martin Buber, cinta adalah tanggung jawab seorang AKU terhadap seorang ENGKAU.
Menurut Fritz Kunkel, mencintai berarti memutuskan secara mandiri untuk hidup dengan pasangan yang sejajar, dan menundukkan diri untuk pembentukan subyek baru “KITA”. Namun, kalau kita tahu cinta hanya sekedar teori dan definisi, itu tidak akan membantu kita dalam hal mencintai, karena cinta merupakan sebuah perbuatan nyata.
Manusia sesungguhnya adalah makhluk paling mulia yang diciptakan oleh Tuhan dan sangat disayangi-Nya. Karena itulah, Tuhan juga menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk bisa mencintai. Dengan anugerah ini pula, kita bisa mencintai anak-anak kita, orang tua kita, bahkan sesama kita. Kalau kita renungkan sejenak, salah satu anugerah terbesar yang diberikan oleh Tuhan adalah kita bisa mencintai, termasuk untuk mencintai pasangan kita. Kalau kita menyadari ini, kita bisa berbuat yang terbaik untuk pasangan kita. Kita juga punya keyakinan bahwa Tuhan akan selalu menuntun langkah kita bagaimana harus mencintai pasangan. Mencintai berarti juga mendekatkan diri kita kepada Tuhan, karena perbuatan kita adalah bukti bahwa di situ ada cinta, cinta karena anugerah yang telah kita terima.
Hal sederhana untuk melihat apakah dalam perbuatan kita ada cinta atau tidak adalah adanya sebuah pengorbanan. Karena mencintai maka akan timbul adanya pengorbanan terhadap orang yang dicintai. Dan pengorbanan ini sifatnya tulus. Yang mencintai juga berkeyakinan bahwa yang diperbuat adalah yang terbaik untuk orang yang dicintai. Dengan dasar cinta, kita bahkan tidak mengharapkan balasannya. Cinta seorang ibu kepada anaknya adalah salah satu contoh. Seorang ibu pasti tidak akan membiarkan anak yang dilahirkan mengalami kelaparan. Ia akan rela tidak makan, yang penting anaknya bisa makan. Bahkan ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk keperluan anaknya. Sang Ibu pasti tidak akan memikirkan bahwa nantinya ia akan mendapatkan balasan dari anaknya. Harapannya hanya satu yaitu anaknya dapat hidup bahagia di kemudian harinya.
Seorang suami yang mencintai istrinya atau sebaliknya pasti juga akan melakukan sesuatu yang menurutnya menjadi yang terbaik buat pasangannya. Kalau perbuatan karena cinta, tidak ada suami/istri saling menuntut ini dan itu dari pasangannya. Yang ada adalah saling memberi dan menerima bukan menuntut. Di sinilah dibutuhkan adanya pengorbanan yang harus dilakukan terus menerus setiap saat. Jika ini yang terjadi dalam hubungan berkeluarga, kita akan dapat mempertahankan kehidupan rumah angga kita tetap harmonis. Impian tentang hidup bahagia dalam perkawinanpun akan dapat kita wujudkan dalam rumah tangga kita. Dan itulah tujuan utama kita menikah yaitu hidup bahagia dalam subyek baru yang disebut “KITA”.
No folly like being in love
Tak ada ketololan seperti ketika jatuh cinta
(Pepatah Latin)
Where is love there is pain
Di mana ada cinta disana ada penderitaan
(Pepatah Spanyol)
Love is responsibilityof an I for a Thou
Cinta adalah tanggung jawab seorang Aku terhadap seorang Engkau.
(Martin Buber)
Love is mutual self-giving which end in self-discovery
Cinta adalah saling penyerahan diri yang bermuara pada penemuan diri
(Fulton J. Sheen)
Love does not dominate; it cultivates
Cinta tidak menguasai; ia mengolah.
(Johann Wolfgang von Goethe)